Mentari duha menghangat di langit Manado, Sulawesi Utara. Ratusan masyarakat bersiap menaiki kapal besi berkapasitas 200-an orang di Pelabuhan Manado. kapal yang beroperasi 4 kali dalam sepekan itu menjadi salah satu moda transportasi laut bagi masyarakat yang hendak bepergian terutama menuju Kepulauan Sitaro (Siau, Tagulandang, dan Biaro).
Selain mengangkut penumpang, kapal itu juga memiliki dek khusus yang disediakan untuk memuat bahan makanan dan bahan bangunan serta berbagai kebutuhan lainnya masyarakat Sitaro dan sekitarnya.
Berada di tengah penumpang, tampak pria berusia 30 tahun dengan peci hitam kebanggaannya, Fawzy Moro Lontoh ikut mengantre di loket tiket sesaat sebelum memasuki kapal.
Dengan barang bawaan seadanya, Pria kelahiran Kotamobagu, 16 Mei 1992 ini akan menuju tempat pengabdiannya di Kantor Urusan Agama (KUA) Tagulandang, Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Perjalanan dari Manado menuju Tagulandang ditempuh dalam waktu kurang lebih 60 menit dengan kapal besar membelah ombak laut Sulawesi. Di Kecamatan Tagulandang itu, Fawzy menjalani takdirnya sebagai Kepala KUA bagi empat kecamatan.
Kepada Aksaranews,com, dirinya menuturkan bahwa hanya ada satu gedung KUA di Kecamatan Tagulandang, tapi wilayah kerjanya meliputi 4 kecamatan, yaitu Tagulandang, Tagulandang Utara, Tagulandang Selatan, dan Biaro
Tepis Pesimis
Saat dilantik sebagai Kepala KUA Tagulandang pada 9 Juli 2021 atau sekitar 2 tahun lalu, Fawzy mengaku sempat pesimis sampai bingung merasuk ke dalam pikirannya. Ini bukan soal ketidakmampuan beliau dalam memimpin suatu institusi, sebab sebagai pribadi yang pernah menjadi Ketua Osis di Madrasah Aliyah Kotamobagu waktu itu, setidaknya punya cukup pengalaman dalam memimpin.
Tapi, hal ini berkaitan dengan medan layanan yang menurutnya penuh tantangan. Mulai dari transportasi yang digunakan dalam pelayanan kepada masyarakat, hingga jumlah umat muslim yang masih sedikit di 4 kecamatan dalam wilayah kerjanya. Belum lagi phobia terhadap transportasi laut yang harus diatasi dan menjadi catatan penting bagi dirinya.
“Awalnya pesimis ya. Sempat sedikit bingung juga. Wilayah kepulauan, jadi harus menggunakan perahu di laut lepas kalau memberikan layanan. Apalagi jumlah Muslim sedikit,” katanya, tersenyum.
Namun begitu, rasa pesimis itu lekas ditepis Fawzy. Ia teringat misi sucinya yang ingin menjadi ustadz dan pendakwah. Sehingga, meski ombak ganas yang saban hari dilaluinya terkadang badai hebat menerjang tak lagi diperdulikan. Semua demi keinginan dan misi suci itu.
Disisi lain, tempaan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Khairat Cabang Palu di Bolmong membentuknya menjadi pribadi yang kian matang dan bijak dalam menghadapi berbagai persoalan.
Fawzy menuturkan, keinginannya sejak kecil ingin menjadi penghulu, agar bisa melayani dan mengurusi umat di bidang agama. Hal ini termotivasi dari sang ayah yang merupakan seorang PNS dan guru ngaji.
Tak Lelah Membina
Pribadi yang memiliki selera humor diatas rata-rata kawan sejawatnya ini, dalam menjalankan amanah Kemenag sebagai Kepala KUA, selalu dengan spirit pembinaan masyarakat. Ia menerjemahkan semangat Revitalisasi KUA yang tidak hanya melayani pencatatan nikah dan rujuk. Sepanjang hari, Fawzy berkeliling memberikan pembinaan agama dan kebangsaan kepada masyarakat.
“Alhamdulillah di Tagulandang ada 4 majelis taklim yang rutin kita bina. Ada juga kelompok binaan keluarga sakinah. Kita rutin memberikan pembinaan dan bimbingan keagamaan kepada masyarakat,” ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Ma’had Al-Birr, Makassar ini.
Bersama dengan Penyuluh Agama Islam, Fawzy mengajarkan masyarakat cara membaca Al-Qur’an, fikih ibadah, konsultasi keluarga, dan hukum Islam. Ia juga menjalin sinergi dengan lembaga pendidikan dan takmir masjid untuk memberikan bimbingan remaja dan bimbingan usia nikah.
Bahkan dalam majelis taklim itu kata dia, juga diajarkan pemberdayaan ekonomi umat, edukasi produk halal, dan sertifikasi produk halal dengan sasaran usaha kecil menengah di Kepulauan Sitaro.
Tak Ciut Diterjang Ombak
Tak ada perjuangan tanpa tantangan. Kalimat itu amat sesuai dengan keseharian yang dialami Fawzy bersama jajarannya di KUA Tagulandang. Menurutnya, medan kepulauan menjadi tantangan tersendiri, terutama urusan transportasi.
“Iya, kendalanya di transportasi. Kalau tidak ada kapal pemerintah, harus sewa perahu dan itu mahal,” katanya.
Dalam memberikan layanan, Fawzy kerap menggunakan kapal kayu selebar 50 sentimeter dan panjang 5 meter. Kapal itu mengantarkannya dari Kecamatan Tagulandang menuju Tagulandang Utara, Tagulandang Selatan, dan Biaro.
Fawzy mengungkapkan, perjalanan ke Tagulandang Selatan dan Utara relatif mudah dijangkau, kurang lebih hanya 15-20 menit. Tapi ke Biaro membutuhkan waktu tempuh sekitar 3 sampai 5 jam.
“Itu pun kalau ombaknya bagus. Kalau badai bisa lebih lama, hanya saja biasanya kita mengurungkan perjalanan demi keselamatan,” ungkap ayah 3 anak ini.
Selama menjalankan tugas di Tagulandang, Fawzy pernah mengalami kejadian tak terlupakan. Di tengah perjalanan membelah laut Sulawesi, tib-tiba ada ombak besar. Berbagai ayat suci dan zikir dirapal, memohon keselamatan dari Tuhan Semesta Alam.
“Tiba-tiba ada ombak besar dan angin bertiup kencang. Hampir saja ombak itu menghantam perahu kecil yang kami tumpangi. Atas izin Allah, ombak itu tidak menghantam perahu kami, Allah masih selamatkan kami semua,” kenangnya.
Beda Tapi Ramah
Keraguan Fawzy di awal bertugas terkikis pengalaman memberikan layanan kepada masyarakat di 4 kecamatan. Meski jumlah Muslim sedikit, masyarakat Kepulauan Sitaro menghormati perbedaan. Sinergi yang dijalin Fawzy dengan instansi pemerintahan, ormas keagamaan, dan kelompok masyarakat juga menjadi kunci terbentuknya kerukunan dan saling menghargai.
“Ternyata mereka sangat terbuka dengan pendatang. Komunikasi kami berjalan baik. Sinergi terus diperkuat. Alhamdulillah kita juga terbiasa kerja bakti membersihkan rumah ibadah dengan seluruh komponen masyarakat,” sambungnya.
Fawzy menambahkan, konsep Moderasi Beragama sangat membantunya dalam melaksanakan tugas. Perbedaan dan keragaman masyarakat bukan alasan untuk berpecah. Perbedaan, katanya, justru menjadi perekat jika disikapi dengan sikap pertengahan dan toleran.
“Di sini terjalin kesejukan antarumat beragama. Umat Islam dirasakan kehadirannya karena terus berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu pula umat lain yang menghormati umat Islam meski jumlahnya sangat sedikit,” pungkasnya.***
Penulis: Pirman | Editor: Redaksi