aksaranews.com

Manifestasi untuk seorang Ayah dan kelahiran Anak dihari Pahlawan

Oleh: Sudirta Lasabuda

Istimewa

Untuk mengisi waktu tenggang agar tidak terbuang sia-sia, saya sempatkan membaca riwayat daftar Pahlawan wanita Indonesia lewat internet, hari itu bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan 10 November 2022, saya menemukan wanita asal Sulawesi Utara (Sulut), salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional Indonesia, Maria Josephine Catherine Maramis atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis.

Saya takjub dengan usahanya mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada abad 20. Tidak mengherankan dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap” tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa”.

Maria dianggap sebagai sosok pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan, sehingga tanggal kelahirannya pun yakni 1 Desember, diperingati sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis oleh masyarakat Minahasa.

Untuk mengenang jasanya, dibangunlah patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar Kecamatan Wenang, Manado, Sulut.

Walanda Maramis tidak sendirian, di wilayah paling selatan pulau Sulawesi, tersebut tokoh wanita paling berpengaruh di Serekat Islam, Sulawesi Selatan yang juga dinobatkan sebagai Pahlawan Perempuan Indonesia. Opu Daeng Risaju, idenya memperkenalkan tentang kemerdekaan bangsa ini ke kerabat dan tetangga sekitarnya, membuat dirinya ditangkap pihak Belanda dengan tuduhan menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif agar rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah saat itu.

Meski demikian, Opu tidak gentar dan setelah penahanannya ditangguhkan salah seorang sepupunya, ia tetap menyebarkan ide-idenya itu. pergerakan saat itu terfokus pada ide Indonesia merdeka.

Di pulau seberang, tepatnya di provinsi Jawa Tengah, lahir pula Pahlawan Perempuan yang populer dikenal sebagai pejuang emansipasi serta pemrakarsa kebangkitan perempuan pribumi. Raden Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini. Di usia 12 tahun, Kartini sudah bisa berbahasa Belanda. Dia mulai membaca buku karya Multatuli, Louis Coperus dan Van Eeden yang bermutu tinggi. Ada juga buku karya Augusta de Witt, Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti perang yang semuanya berbahasa belanda.

Bahkan dia juga belajar menulis surat untuk salah satu temannya di Belanda, Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya, sehingga Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.

Dari ketertarikannya menulis itulah, karya fenomenal dan populer: Habis Gelap Terbitlah Terang, Kehidupan Perempuan di Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa, lahir. Bahkan untuk menghormatinya, hari lahirnya sekarang diperingati dan dirayakan di Indonesia sebagai hari Kartini. Beberapa sekolah dinamai menurut namanya dan sebuah yayasan didirikan atas namanya.

Walanda, Opu dan Kartini adalah contoh dari ribuan bahkan jutaan anak perempuan yang dengan kesungguhan dan dukungan serta lingkungan baik, mampu memberi kontribusi hingga mendapat penyematan gelar Pahlawan bukan hanya di daerah, namun juga Nasional, meski sepi publisitas dan applaus serta puja puji. Saya rasa lebih mencengangkan lagi jika diungkapkan bahwa para Pahlawan wanita ini, sebagian besar pendidikan mereka lewat perkumpulan dan berbagai organisasi.

Tanpa bermaksud menyederhanakan soal, tapi apa yang membuat wanita-wanita ini cemerlang dimasanya? Sebab faktor keluarga dan lingkungan yang mendukung? Ataukah nasib baik dan kesempatan? hingga para wanita yang layak disebut sebagai “contoh” atau “teladan” itu, seperti pohon apel yang semarak buah dan manis gurih serta tumbuh di tanah subur?

Sembari meneggelamkan diri dengan suasana peringatan hari Pahlawan, hari dimana bangsa ini memperingati pertempuran Surabaya yang terjadi pada tahun 1945 dan hari dimana para tentara, milisi Indonesia yang pro-Kemerdekaan berperang melawan tentara Britania raya dan Belanda yang merupakan bagian dari Revolusi Nasional Indonesia, adalah “perang kecil” bagi seorang karib, sahabat sekaligus saudara saya, Muhammad Riswan Hulalata yang sepenuh hati coba saya manifestasikan. Paling tidak, biarkan urusan keredaksian yang tiap hari memeras otak dan seringkali membikin goyah akal sehat menyurut sesaat.

Lalu, telepon berdering, Riswan Hulalata menelepon, memberitahukan kelahiran anak ketiganya yang berjenis kelamin perempuan, tepat pukul 11.50 Wita. Saya bersyukur dan menderaskan doa untuk Iwan Abo (demikian saya mengakrabi dia) dan Istrinya. Untuk sesaat yang panjang, ingatan tentang “kisah lama” ketika pertama kali menimang anak perlahan muncul. Bahagia juga ngeri, apalagi dilahirkan melalui proses bedah sesar (seksio sesarea).

Hal pertama yang saya pikirkan adalah bagaimana dan seperti apa kelak saya harus membesarkan, mengajari tentang hidup (sementara saya juga masih terus-menerus belajar). Saya paham betul dunia kita dan dunia mereka para anak-anak akan selamanya berbatas waktu serta kesempatan.

Pun saya mengerti kalau mereka tidak mungkin menjadi ekspresi dari keinginan serta kehendak kita sebagai orang tua, sebab saya percaya sebagaimana fitrah manusia: setiap kita adalah khalifah di muka bumi.

Sebagai orang tua pula, saya harus mengakui, bahwa kepada anak-anaklah saya belajar banyak tentang hidup, kearifan tertinggi dan segala aspeknya yang tentu saja mampu dicapai tiap orangtua. Kita orang tua mesti mampu melepaskan segala ingin agar mereka menemukan dunia dan jalan hidup sebaik-baiknya untuk mereka.

Iwan, di hari dimana sebagian besar orang-orang di negeri ini sedang berkhusyuk dan beriaan memperingati hari pahlawan, bayimu lahir menyapa dunia. Dia datang dengan tangis dan senyum serta pesan yang membuat kamu dan istrimu bersuka gembira bahagia.

Saya percaya dengan apa yang dipercaya oleh seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali, Gurudev atau Rabindranath Tagore (1861-1941): Setiap anak datang dengan pesan bahwa Tuhan belum putus asa terhadap manusia.

Semoga sang bayi tumbuh menjadi anak masa depan yang berjaya, merdeka, membumi, memberi manfaat bagi bangsa, negara dan agama, serta berguna bagi banyak orang, tumbuhlah dan ekspresikan diri seperti, Walanda Maramis, Opu Risaju, R.A Katini, serta para “contoh” dan “teladan” pahlawan wanita lainnya.

Untuk kita para orang tua yang diburu usia senja, memberi wejangan dan dukungan kepada anak-anak, terutama dalam meniti perjalanan hidupnya adalah suatu keharusan. Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan munajat pada Yang Maha, selebihnya ikhtiar. Dengan begitu, upaya memberi makna tentang hidup pada anak-anak kita bukan hanya sekedar iming-iming dan impi.

Selamat atas kelahiran anak ketiganya saudaraku Iwan Abo (yang terlambat disampaikan). Jadilah ayah menurut versi terbaikmu, dan untuk sang Istri, Gita Ua’, sehat dan pulihlah segera.

"Mau Berita Terbaru Lainnya dari aksaranews.com? Yuk Follow Kami di Google News"