NUSA UTARA merujuk pada kawasan “archipelago regencies” yang berjejer di gugus batas Indonesia paling utara, berbatasan langsung dengan samudera pasifik dan negara Philipina. Dalam makna identitasnya, Nusa Utara memiliki dua makna mendasar, yaitu Nusa Utara sebagai “teritorial kolektif” dan Nusa Utara sebagai “entitas etnis”. Kedua makna indentitas ini memiliki urgensi yang sama penting dalam penguatan Nusa Utara sebagai kawasan perbatasan indonesia di bibir Pasifik.
Gugus kabupaten kepulauan (archipelago regencies) merujuk pada kabupaten Sangihe dengan ibu kota Tahuna, kabupaten Talaud dengan ibu kota Melonguane dan Kabupaten Sitaro dengan ibu kota Ondong.
Pada masa orde baru, ketiga kabupaten ini menyatu dan disebut Dati (Daerah Tingkat) II Kabupaten Sangihe Talaud, di singkat SATAL. Pada era otonomi daerah, ketiga kabupaten tersebut sudah memiliki “dapur otonomi” masing-masing sebagai kabupaten otonom. Meskipun demikian, tidak bisa di pungkiri bahwa ketiga wilayah tersebut memiliki koherensi sosio-kultur yang erat dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bahkan, dalam pemilihan legislatif tingkat DPRD Provinsi Sulut memiliki daerah pemilihan (dapil) kolektif, yaitu dapil Nusa Utara.
Sebutan Nusa Utara bukan hanya populer di kenal pada masa kini, jauh sebelumnya pada masa ekspedisi bangsa Eropa di Indonesia sudah di kenal sebutan “Nusa Utara”. Karya tulis dari Viersen pada tahun 1903 menyebut Nusa Utara dalam bahasa belanda, “Noorden Einlanden”. Sebutan Nusa Utara ini juga terkait dengan laporan jurnal “Het Journaal Van Padtbbrudge’s Reis Naar Noord Celebes En De Noorder Einladen”. Laporan ini adalah jurnal perjalanan Van Padtbbrudge’s ke Sulawesi Utara dan Pulau-Pulau ke Arah Utara.
Laporan jurnal di atas merangkum perjalanan Van Padtbbrudge sebagai Gubernur VOC pada tanggal 16 Agustus – Desember 1677. Sebutan Nusa Utara telah di kenal sejak 345 tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Bukan hanya secara historis, rumpun sosio-kultural ketiga wilayahnya sangat terkait erat dengan tradisi kultural yang kental dengan beragam kearifan lokal.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap kali momentum kontestasi politik, baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi/RI, Pilbup/Pilwako dan Pilgub, terminologi Nusa Utara paling santer di gunakan sebagai “instrumen polarisasi politik”. Di mana konstituen berbasis etnis Nusa Utara hanya di perankan sebatas “komoditi elektoral” yang sifatnya temporer. Basis etnis Nusa Utara selalu menjadi “incaran basis elektoral” di setiap momentum politik, mengapa demikian? Karena sebaran masyarakat Nusa Utara bukan hanya mendiami Sangihe, Talaud dan Sitaro sekitarnya. Warga Nusa Utara dispora banyak tersebar di 15 Kabupaten/Kota Sulawesi Utara.
Beragam penggiringan atensi dan preferensi publik terkait Nusa Utara di kemas sedemikian rupa, entah berbentuk narasi lisan, narasi tulisan atau kemasan konten milenialis di berbagai platform media. Intinya, identitas terkait Nusa Utara di gunakan sebagai isu sentral dalam agitasi dan propaganda dalam basis etnis Nusa Utara, baik yang berasal dari tiga kabupaten Nusa Utara atau juga warga Nusa Utara diaspora.
Retorika politik yang “menunggangi” tema sentral Nusa Utara hampir selalu menciptakan pola konsolidasi politik berbentuk “piramidal”. Di mana, figur sentral politik akan di kristalisasi pada puncak piramid elektoral untuk menarik gerbong etnis Nusa Utara sebagai “konstituen politik”. Figur sentral politik akan menjadi lokomotif tunggal dan menarik gerbong-gerbong kolektif Nusa Utara, entah bersumber dari kelompok rukun keluarga, ormas, profesi, budayawan, rohaniawan, cendekiawan, jurnalis, pemuda/mahasiswa, dan kelompok konstituen lainnya.
Fenomena polarisasi politik berbasis etnis seperti di atas adalah hal yang lazim dalam politik. Saya ulangi sekali lagi, bahwa hal tersebut adalah hal yang lumrah dalam realitas politik praktis. Akan tetapi, Sebagai bagian dari entitas warga Nusa Utara, saya hanya ingin mengajak kita untuk melihat fenomena politik ini dengan lensa otokritik etis. Dengan demikian, kita akan lebih kritis mendeteksi pola konsolidasi politik sebatas “tunggangan temporer” ataukah sebagai “penentu hak hidup kolektif” secara konsekuen dan bertanggung jawab.
Pola konsolidasi piramidal secara politik memiliki kelemahan dari sisi siklusnya. Energi konsolidasi hanya menggebu-gebu dari fase awal hingga fase suksesi politik. Pasca suksesi politik di gapai, atau figur sentral sukses meraih kekuasaan politik, maka anti klimaks dan efek deklinasi pun terjadi. Di mana simbiosis politik-kolektif pun pupus, dan masing-masing sibuk kembali dengan “dapur-nya” masing-masing. Figur sentral yang telah sukses sebagai pemegang kekuasaan pun sibuk wara-wiri dengan safari politik dan tugas seremonial politisi. Dan para basis pendukung tadi juga sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Pada akhirnya, Isu urgensi perjuangan rakyat Nusa Utara yang awalnya di provokasi berangsur pudar. Solidaritas politik pada fase konsolidasi awal hanya sebatas tonil berepisode singkat. Komitmen politik yang tidak di ikat oleh “visi perjuangan politik” yang sifatnya jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Serta, tidak di gagas secara strategis untuk kepentingan publik. Karena “simbiosis mutualistik” dalam komitmen politik hanya di dorong oleh asas kemanfaatan jangka pendek secara individual maupun kelompok.
Pola konsolidasi piramidal hanya akan menunggangi Nusa Utara sebatas instrumen polarisasi politik temporer. Entitas etnis Nusa Utara hanya di pandang sebatas produk elektoral setiap lima tahunan. Sedangkan, gagasan perjuangan untuk membumikan “kesejahteraan holistik” dalam teritorial dan basis etnis Nusa Utara berpotensi di abaikan. Kampanye heroik di atas panggung politik hanya akan berakhir sebatas retorika, slogan dan jargon impulsif.
Catatan otokritik etis yang saya mau angkat di sini adalah bagaimana memicu terjadinya gerakan intelektual dalam entitas etnis Nusa Utara yang sifatnya kritis, beradab, mandiri, terbuka tapi independen. Sebagai entitas etnis, Nusa Utara berhadapan dengan peluang dan tantangan dalam iklim otonomisasi, modernisasi, digitalisasi dan globalisasi.
Sehingga, entitas Nusa Utara wajib berolah pikir, rasa dan karsa dalam menghadapi dinamika perubahan secara lokal, nasional dan global. Sebagai entitas etnis, KIta di tuntut untuk sanggup berperan dinamis dalam beradaptasi dengan realitas modern. Dan pada saat bersamaan, tidak membuat kita terperosok dalam degradasi identitas, solidaritas dan eksistensi sosio-kultur.
Oleh karena itu, Nusa Utara bukanlah di maknai sebatas “terminologi polarisasi politis”, tapi di maknai sebagai “terminologi literasi” yang kritis tapi membumi. Dengan demikian, pola gerakan akar rumput yang akan muncul bukan hanya bersifat “piramidal”, tapi memicu gerakan akar rumput yang sifatnya “sentrifugal” yang solid dan alami. Perlu di garis bawahi bahwa Gerak sentrifugal tidak sama dengan gerak sentripetal.
Secara praktis, Gerak sentripetal cenderung bergerak mendekati sumbu sentral. Jika berbentuk lingkaran, maka gerak sentripetal akan memperkecil diameter lingkaran. Dalam konteks makna tipologis, gerak sentripetal merupakan primordialisme sosio-kultur yang sifatnya konservatif-ekslusif. Pola pikir ultra-primordial yang menutup diri dengan realitas luar (cenderung mempersempit ruang pembauran). Pola ini bisa memprovokasi sukuisme yang bermuara pada “chauvinisme”.
Berbeda halnya dengan gerak sentrifugal, secara praktis, gerak sentrifugal bergerak menjauhi sumbu sentral. Jika berbentuk lingkaran, maka ukuran diameter lingkaran akan meluas. Tetapi, tetap terhubung dengan “sumbu sentral” sebagai porosnya. Dalam makna tipologis, gerak sentrifugal dalam basis sosio-kultur adalah gerakan etnis yang independen, terbuka, merangkul dunia luar dan selanjutnya mengekspor nilai-nilai transformasi holistik yang membumi.
Gerak sentrifugal berbentuk lingkaran sangat berbeda dengan pola piramid elektoral yang saya singgung sebelumnya. Piramid elektoral hanya bertumpu pada sosok tunggal di atas puncak piramid. Sedangkan, gerak sentrifugal berbentuk lingkaran menekankan pada kesetaraan. Sumbu sentralnya tidak berpusat pada kepentingan individualis, sumbu sentralnya di bangun oleh sebuah “konsensus” untuk hidup senasib sepenanggungan dan bergotong royong. Bekerja keras dan bekerja cerdas bersama-sama sehingga bisa keluar dari berbagai kerangkeng marginalisasi secara budaya, ekonomi dan politik.
Pola gerak sentrifugal analog dengan “jaring ikan” tapi bukan “jaring laba-laba”. Jaring laba-laba hanya berpusat pada satu titik, sedangkan setiap titik pada jaring ikan memiliki kekuatan yang sama (kesetaraan). Tidak heran, dalam fungsinya, jaring ikan bisa menarik hal-hal besar. Filosofi ini yang harus di “kontekstualisasi” dalam konstruksi gerakan intelektual dalam basis etnis Nusa Utara.
Gerakan intelektual yang menjelma sebagai gerakan akar rumput yang solid dan bersumber pada “poros konsensus” untuk hidup bergotong royong. Dan poros konsensus tersebut secara kental terkandung secara kental dalam filosofi kearifan lokal yang populer, yaitu “Somahe kai kehage, Sansiote sampate-pate, Pakatiti Tuhema Pakanandu Mangena, Boleng Balang Sengkahindo”.
Penulis: Jerry F. G. Bambuta (Forum Literasi Masyarakat)